Film Autobiography dianggap 'seksi' karena menjual ketegangan. Tapi, konsep ketegangan yang dimaksud justru bias, bahkan terkesan santun. Apalagi, jika dibandingkan dengan banyak film-film Indonesia dari beragam genre yang tak kalah menegangkan dari berbagai sudut pandang.
Calon penonton terlanjur dibuai dengan pendapat pengamat maupun kritikus film yang melihat tanpa mempertimbangkan obyektivitas yang mereka lihat dengan yang penonton lihat.
Pun, ketika menganggap film ini berkualitas karena memenangi banyak penghargaan tak lantas membuat penonton yang realistis menganggap film ini menawarkan ketegangan sesungguhnya, karena toh juga sisi idealisme dalam film ini juga terlalu bias.
Baca Juga: The Menu, Misteri Dibalik Sebuah Hidangan
Membedah Maksud 'Tegang' di Film Autobiography
Lucunya, film ini memiliki pengambilan sudut visual yang tak lebih sama dengan kebanyakan film-film horor Indonesia; gelap, suram, tapi sebenarnya, tak secara langsung mendukung cerita dari film itu sendiri.
Selain visual yang dibuat kelam, film ini juga mengumbar latar musik yang terkesan berupaya mendukung jalan cerita dari film ini. Dan lagi-lagi, ia lebih mirip film horor pasaran yang ada selama ini.
Wojciech Staro, sinematografer di film ini seperti berupaya 'setengah mati' mengambil visual dan latar musik agar terlihat seperti sebuah film idealis yang pada akhirnya menjadi terlalu dipaksakan.
Ia seperti punya tugas terlampau berat untuk mengesankan bahwa film ini harus terlihat tegang dan suram sehingga ia harus bertanggung jawab menghasilkan visual yang pada akhirnya lebih menyerupai visual film-film hantu, ketika adegan beralih ke kemunculan kuntilanak, yang menjual efek suara yang cuma bikin jantungan saja.
Baca Juga: Sayap-sayap Patah, Sebuah Jeda di Belantara Kasus Sambo
Alur Cerita Autobiography yang Biasa Saja
Meski tak etis membandingkan film Autobiography dengan film-film indie lain, seperti Pulau Plastik misalnya. Tapi, dalam hal alur cerita tak ada yang istimewa di film ini.
Apalagi jika dibandingkan dengan Pulau Plastik, meski konsepnya adalah film semi dokumenter, tapi baik alur maupun visualnya terasa mendukung, tak kontras seperti Autobiography.
Bahwa, masyarakat Indonesia benci model-model kepemimpinan yang menindas, memang iya, tapi penggambarannya terlalu dibuat mengada-ada.
Bahwa seorang jenderal maupun purnawirawan memiliki konsep membungkam musuhnya dengan praktek yang lebih 'santun'.
Sejarah membuktikan, bagaimana kita hanya bisa menebak-nebak kasus Munir. Atau jika ditarik jauh kebelakang, seperti; penembakan misterius (Petrus) atau Wiji Thukul misalnya.
Tapi, ya sudahlah, penonton memang cuma bisa mengkritik. Ibarat nasi sudah menjadi bubur.
Autobiography, Kisah Jendral Post Power Syndrome dan Pemuda Biasa
Film garapan Makbul Mubarak yang memenangi Golden Hanoman Award di JAFF 2022 ini lebih menitikberatkan pada kisah seorang jendral yang mengalami post power syndrome dan bertemu pemuda biasa.
Yang terasa pas, ketika mereka yang tak menyadari bahwa kekuasaan sebenarnya telah terenggut dari tangannya kemudian bertemu pemuda biasa yang dianalogikan sebagai rakyat jelata, yang menjadi makmum, sehingga begitu dengan mudah dicuci otaknya, untuk turut pada aturan dan perintahnya, yang kemudian secara tak langsung mengubah pribadi sang pemuda menjadi penindas karena obsesinya terhadap sang jendral.
Adalah, Purnawinata (Arswenndy Bening Swara Nasution), seorang purnawirawan jendral yang kembali ke desa untuk mencalonkan diri sebagai bupati.
Ia bertemu dengan Rakib (Kevin Ardilova), seorang pemuda yang diamanahi oleh ayahnya yang tengah berada di dalam sel, untuk melanjutkan pekerjaan turun-temurun keluarganya yakni menjaga rumah milik sang jendral.
Setiap hari, Rakib menemani dan melayani Purna.
Di awal-awal hubungan Purna dan Rakib terasa kaku. Purna masih mengesankan diri sebagai jendral berkuasa kepada bawahannya.
Sampai kemudian, ketika Purna mulai mencalonkan diri sebagai calon bupati, Rakib membantu dalam banyak hal; memasang spanduk sampai menyetir kendaraan sang jendral.
Kedekatan pun terbangun antar keduanya. Ada momen ketika, Purna dan Rakib bermain catur yang seolah tengah membangun visual, bagaimana seorang penguasa membangun strategi mempertahankan kekuasaannya.
Sebagai film, Autobiography berhasil memainkan banyak genre film yang lebih luas, dengan bermain-main di isu kekuasaan dan kekejamannya, politik dan lingkungan. Kondisi ini yang kemudian membuat film ini menjadi bias dalam hal pengembangan ceritanya.
Sikap Purna yang berupaya memanipulasi pribadi Rakib menjadi sosok yang ia inginkan memang terjadi. Sementara Purna, masih asyik bermain dalam berbagai 'rupa' dan jelma untuk memenuhi ambisinya menjadi seorang bupati.
Masalah menjadi terlihat sepele, mana kala Makbul Mubarak, tiba-tiba kehabisan ide bagaimana memunculkan sosok Purna yang sesungguhnya hanya karena masalah spanduknya yang dirusak.
Disini, Purna terasa begitu superior, hanya karena perkara remeh temeh.
Terlepas maksud Mubarak ingin menggiring opini bahwa sejatinya rakyat yang jelata tak punya kuasa apa-apa, karena toh, faktanya memang seperti itu, dari dulu sampai sekarang.