Sebutan ojek online (ojol) gagal sebagai bisnis transportasi lebih didasari karena nasib mitranya yang tak sejahtera. Padahal, sebagai mitra, driver ojol adalah banyak yang mengeluarkan modal, mulai dari sepeda motor, smartphone, kuota sampai tenaga, terkadang mereka juga harus bertaruh nyawa.
Hasilnya, jangankan bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari agar bisa tetap beroperasi saja, rasanya sudah kian berat.
Sebagian besar driver ojol mengeluhkan penghasilan mereka yang tak sesuai dengan tenaga dan waktu yang mereka sisihkan disisi lain mereka tak memiliki pilihan profesi lain.
Kondisi ini yang kemudian membuat pihak aplikator terkadang bertindak semena-mena, menghilangkan bonus, bersikap 'pilih kasih' dalam hal pembagian order hingga bersikap diskriminatif terhadap driver.
Masalah-masalah yang dialami oleh driver ojol akibat kebijakan aplikator ini masih juga harus dilengkapi dengan tindak tanduk para pengguna aplikasi yang terkadang semena-mena dan terkesan menuntut kepada driver ojol, belum lagi hampir semua driver ojol baik Gojek maupun Grab pernah mengalami orderan fiktif yang merugikan mereka dalam banyak hal.
Bahkan ada salah satu aplikasi ojol yang sengaja menerapkan tarif murah kepada pengguna jasa aplikasinya demi mengejar jumlah pengguna aplikasi, sementara driver ojolnya dibuat menderita dengan tarif murah dan tanpa kepastian karena aplikator hanya mengiming-imingi potongan biaya yang jauh lebih rendah.
Yang mengerikan lagi, menjadi driver ojol bukan hanya sekedar pekerjaan biasa, risikonya bahkan harus bertaruh dengan nyawa, mana kala fisik para driver ojol yang 'dipaksa' harus bekerja seperti robot harus menghadapi keadaan jalan raya yang kadang amat kejam buat mereka.
Karenanya, amat beralasan ketika Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai ojol gagal sebagai bisnis transportasi.
"Bekerja tidak dalam kepastian dan tanpa penghasilan tetap, tidak ada jadwal libur, dan tidak ada jaminan kesehatan. Jam kerja tidak terbatas," kata Djoko beberapa waktu lalu.
Faktor-faktor yang Membuat Ojol Gagal sebagai Bisnis Transportasi
Para pengemudi ojol ini, tidak pernah merasakan peningkatan pendapatan meskipun mereka bekerja dari pagi hingga malam hari.
Penyebabnya, karena banyak faktor seperti potongan-potongan fasilitas aplikasi, biaya jasa aplikasi dan segala macam tetek bengeknya.
Tak hanya itu saja, aplikator juga menerapkan skema-skema yang juga merugikan bagi banyak driver dengan membagi orderan hanya kepada driver tertentu berdasarkan tingkat keaktivannya sebagai driver setiap harinya.
Pendapatan Driver Ojol sangat Memprihatinkan
Djoko bahkan melihat kegagalan ojol sebagai bisnis transportasi sudah terlihat dari pendapatan yang diperoleh driver ojol.
Saat ini, pendapatan rata-rata pengemudi ojek daring masih di bawah Rp 3,5 juta per bulan dengan lama kerja 8-12 jam sehari dan selama 30 hari kerja sebulan.
Rata-rata pendapatan itu, menurut Djoko, tidak sesuai dengan janji para aplikator angkutan berbasis daring pada 2016. Kala itu aplikator menjanjikan pendapatan sekitar Rp 8 juta per bulan.
Kondisi kian buruk mana kala pemerintah memberlakukan kenaikan harga BBM subsidi yang memicu biaya pengeluaran driver ojol yang sangat tinggi tak hanya untuk kebutuhan operasional tapi juga kebutuhan rumah tangga, karena sebagaimana lazimnya tiap kali kenaikan harga BBM subsidi juga diikuti dengan kenaikan berbagai kebutuhan pokok.
Karenanya, menurut dia, sulit menjadikan profesi pengemudi ojol menjadi sandaran hidup. Sebab, aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand.
Pemerintah Harus Melindungi dan Berpihak pada Driver Ojol
Dengan melihat berbagai permasalahan dan kesulitan yang dialami oleh para driver ojol ini, maka sudah selayaknya pemerintah memberikan perlindungan dan berpihak pada driver ojol.
Bentuk keberpihakannya bukan hanya sekedar menaikan tarif tapi tak memikirkan nasib dan masa depan puluhan ribu driver ojol di Indonesia.
Menurut Djoko, jika pemerintah ingin melindungi warganya, mereka dapat dibuatkan aplikasi dan diserahkan ke daerah untuk dioperasikan.
“Seperti halnya yang dilakukan Pemerintah Korea Selatan membuat aplikasi untuk usaha taksi. Dalam upaya untuk melindungi sopir taksi yang kebanyakan tidak berbahasa Inggris dan rata-rata sudah berusia tua,” katanya.