Kontroversi BRIN sungguh luar biasa. Meski terbilang baru dan merupakan hasil peleburan banyak lembaga riset di Indonesia, faktanya sensasi yang dibuatnya terlampau berlebihan.
Seperti diketahui BRIN atau Badan Riset dan Inovasi Nasional dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Jokowi dan ditetapkan menjadi induk bagi lembaga yang membawahi puluhan entitas riset di Indonesia.
Banyak yang menyebut dasar pembentukan BRIN oleh Jokowi sebagai ekses dari pandemi Covid-19 dan oleh sang presiden, BRIN direncanakan menjadi "superbody riset" di Tanah Air.
Kehadiran BRIN Timbulkan Banyak Kontroversi
Belakangan kehadiran BRIN mendapat sorotan lantaran proses peleburan puluhan lembaga riset membuat ratusan peneliti kehilangan pekerjaan mereka.
Mulanya, sorotan terhadap BRIN muncul setelah banyak peneliti muda Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman bersuara melalui media sosial Twitter mengenai nasib mereka.
Peserta Pelatihan Survei Demografi Kena 'Prank' oleh BRIN
Tak hanya soal kontroversi peleburan berbagai lembaga riset dalam BRIN, belum lama ini puluhan peserta pelatihan survei demografi mengeluhkan honor petugas yang mestinya diberikan utuh oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
BRIN diketahui menggelar pelatihan petugas lapangan survei Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dilaksanakan pada 30 September sampai 10 Oktober 2022 secara serentak di tujuh training center.
Deputi Bidang Kebijakan Riset dan Inovasi BRIN Boediastoeti Ontowirjo mengatakan SDKI 2022 adalah survei yang dilaksanakan dengan kolaborasi antar-lembaga.
"BRIN menjadi pelaksana SDKI 2022 berkolaborasi dengan berbagai pihak antara lain BPS, BKKBN, Kemendikbudristek, Bappenas, Kementerian Kesehatan, dan ICF-USAID," ujarnya dikutip dari situs BRIN.
Ia mengatakan petugas lapangan SDKI bertanggung jawab mengumpulkan informasi mengenai kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi, keluarga berencana (KB), serta pengetahuan mengenai AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) lainnya.
Usai gelaran pelatihan tersebut, sejumlah warganet membanjiri kolom komentar Twitter BRIN. Warganet yang mengaku ikut sebagai peserta pelatihan menyebut mendapatkan pemangkasan honor hingga tak kunjung menerima bayaran.
"Min, awalnya 150k perhari jadi 50k per hari terus bau-baunya engga ada sama sekali, kita manusia mohon dimanusiakan, terima kasih udah staycation di Bali 10 hari," ujar akun @aarosta.
"Susahnya nyari kerja, malah kena prank begini..huuuu," timpal akun @TanjiroKomodoo.
"Kok bisa ada pelatihan 10 hari tapi uang hariannya ga dibayar.Ga takut apa ya makan hak orang," cetus @nurazisramadhan.
Tak Ada Koordinasi dalam Lembaga BRIN
Parahnya lagi, pasca merebak soal honor para petugas lapangan yang tidak jelas itu, akun Twitter milik Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN malah ikut-ikutan mengomentari laporan netizen yang membanjiri kolom postingan.
"Tolong Admin @brin_indonesia sampaikan keluhan masyarakat ini kebagian penyelenggara," kicau akun resmi itu.
Tak ayal komentar dari akun Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN ini mengundang banyak cibiran dari netizen, pasalnya seperti tak ada koordinasi sama sekali padahal berada dalam satu lembaga yang sama.
Sekretaris Departemen Kebijakan Riset dan Inovasi BRIN Yudho Baskoro mengatakan keluhan para peserta itu terkait dengan honor petugas survei. Masalahnya, belum ada penugasan untuk menyurvei.
Sementara, uang saku untuk pelatihan selama 10 hari sudah tuntas disalurkan kepada peserta.
"Untuk uang pelatihan semua sudah diberikan, tidak ada pemangkasan. Yang disampaikan di Twitter [honor senilai Rp] 150 jadi 50 ribu itu berkaitan dengan nanti dia bertugas. Itu penugasannya belum ada," ungkap dia lewat pesan singkat.
"Yang disampaikan teman-teman itu penugasan, sementara penugasannya belum ada, karena kita sedang menata kembali metode pengumpulan data, termasuk juga penugasan per blok sensusnya," imbuh Yudho.
BRIN yang Penuh dengan Kontroversi
Sebelum ribut-ribut soal honor petugas survei lapangan merebak, kehadiran BRIN memang penuh dengan kontroversi.
Sebelumnya, sorotan terhadap BRIN muncul setelah banyak peneliti muda Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman bersuara melalui media sosial Twitter mengenai nasib mereka.
Peneliti non-ASN dan tanpa gelar S3 di lembaga tersebut dipaksa menyingkir usai peleburan ke BRIN.
Di bawah BRIN, Eijkman kini berganti nama menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman.
Selain Eijkman, ratusan ilmuwan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga kehilangan pekerjaan mereka setelah lembaga itu dilebur ke BRIN.
Proses peleburan lembaga riset ke dalam tubuh BRIN pun pada akhirnya membuat banyak pihak bertanya mengenai arah pemerintah dalam mengelola riset dan inovasi di Tanah Air.
Beberapa pihak pun menilai, peleburan lembaga riset ke dalam BRIN serta nasib peneliti di dalamnya yang berstatus sebagai ASN bakal memengaruhi kemajuan riset Indonesia ke depan.
Mustahil muncul riset bermutu Akademi Ilmu Pengetahuian Indonesia (AIPI) angkat bicara terkait peleburan beberapa lembaga riset ke dalam tubuh BRIN.
Kepala Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro menilai, riset bermutu mustahil muncul apabila para peneliti diperlakukan laiknya pegawai kantor.
"Saya selaku AIPI sudah mengingatkan sejak awal, tapi tidak didengar. Seharusnya BRIN bisa berperan koordinasi, tanpa harus melebur lembaga riset yang sudah ada dan bekerja baik seperti (Lembaga Biologi Molekuler) Eijkman," ungkap Satryo.
Satryo menambahkan, negara-negara maju yang risetnya bagus, justru melakukan desentralisasi riset alih-alih sentralisasi seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan BRIN-nya.
Desentralisasi ini membuat setiap lembaga riset bisa memiliki kekuatan dan meneliti dengan hasil maksimal.
"Penelitinya ditantang menghasilkan karya terbaik, bukan disatukan dan ditugaskan untuk menjadi pegawai. Bahkan, sekarang lembaga riset yang sudah punya DNA sebagai lembaga riset seperti Eijkman, tiba-tiba dilebur. Tidak mungkin ada riset yang berkualitas kalau peneliti diperlakukan jadi pegawai kantor, harus patuh semua," kata dia.
Mendiang Azyumardi Azra bahkan pernah menyebut peleburan LPNK ke BRIN akan menyebabkan dekonstruksi kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) di masing-masing lembaga.
Ia berpendapat, akan lebih tepat jika BRIN hanya menjadi badan yang menjalankan tugas dan fungsi koordinasi sesuai UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
"Saya kira kalau itu saya setuju. Bagus. Tapi kalau mengintegrasikan, maka BRIN bayang-bayangnya lebih panjang dari badannya. Artinya, kapasitas dia tidak memadai untuk menangani semua ini," tuturnya.