Kualitas film Indonesia, terlalu jumawa dengan horor, menjual jump scare yang miskin ide...
Hampir setiap hari, salah satu production house dengan
bangganya mengupdate jumlah penonton film horor produksinya. Ironisnya, itu sama
halnya dengan membangun jump scare tersendiri bagi mereka yang melihat film
sebagai sebuah karya seni bukan industri.
Karena sesuatu yang identik dengan industri, kecenderungannya
adalah komersialisme produk, bukan idealisme karya. Ia bukan lagi bias bahkan
berbeda jauh. Seperti semut dengan gajah.
Yang memprihatinkan juga, hari ini, penonton Indonesia,
masih terlalu senang dikagetkan melalui jump scare-jump scare yang mudah
ditebak, mereka bahkan rela mengganti seliter minyak goreng dengan secarik
tiket.
Dan, kemudian semua produser, semua sutradara cuma memanfaatkan
kedok ‘selera’ untuk melindungi produk (filmnya) agar tak disebut industri yang
cuma punya satu kiblat; untung.
Hasilnya, sampai hari ini bioskop kita cuma melulu tentang hantu,
pocong, kuntilanak dan kawan-kawannya yang lain, karena horor pada prinsipnya
hanya tentang itu-itu saja.
Hari ini juga, kita rindu dengan; Mereka Bilang Saya Monyet,
Perempuan Tanah Jahanam, Pengabdi Setan, Losmen Bu Broto, Filosofi Kopi, dan
tentu saja Nussa: The Movie.
Baca Juga: Mencuri Raden Saleh, Sebuah Renungan untuk Karya yang Tak Ternilai
Jangan Bandingkan Kualitas Film Indonesia dengan Jumlah Penonton
Satu waktu, sutradara Joko Anwar seketika merasa
kolesterolnya naik, kepalanya mendadak pening. Ia ber-satire di cuitan twitter,
seperti menangisi entah dimana film-film bernas yang amat jarang kini.
Ada yang menyebut sebuah film layak disebut berkualitas
cukup dengan menggunakan tolak ukur jumlah penonton. Kenyataannya, penonton
yang ramai tak selalu identik dengan kualitas.
Perlu diketahui, KKN di Desa Penari jelas berbeda dengan Ada
Apa dengan Cinta. Ada Apa dengan Cinta kala itu hadir seolah sebagai momentum
kebangkitan film nasional, ditengah banjirnya film semi yang minim bujet, minim
alur, minim dialog kecuali mengumbar syahwat yang ‘kentang’.
Ada Apa dengan Cinta kala itu menjadi oase, ia bukan opsi
tapi ciri sebuah film sebagai sebuah karya yang bernas dan cerdas dan dengan
berani menawarkan diri diantara film-film semi itu.
AADC berhasil mendapat penonton dari berbagai segmen. Segmen
dalam hal ini, mereka yang sekedar mencari hiburan dan mereka yang sudah
terlanjur merindu begitu lama film berkualitas, semuanya menyatu dalam satu
bioskop yang sama tapi punya kesimpulan yang berbeda satu sama lainnya
tergantung dari mana mereka-mereka ini menilai.
Sedang, KKN di Desa
Penari adalah adaptasi kisah dari Simple Man yang sebenarnya jeli melihat
peluang (baca: industri) dari antusiasme pembaca utas ini yang disimbolkan
melalui kata ‘viral’.
Hal yang membuat KKN di Desa Penari begitu membludak sejatinya
adalah bukan dari alur, jalan cerita, konsep dan para pemainnya tapi lebih
kepada kuatnya kemampuan mempengaruhi mereka yang belum menonton film ini untuk
akhirnya (terpaksa) menonton film ini dan kemudian larut dalam euforia bersama untuk
kemudian mempengaruhi mereka yang belum menonton lainnya.
Kesamaan AADC dan KKN di Desa Penari adalah momentum. AADC
datang saat film nasional tengah lesu akibat rombongan Sally Marcelina, Febby
Lawrence dan kawan-kawan, pun dengan KKN di Desa Penari yang memanfaatkan
momentum dilonggarkannya PPKM ketika itu.
KKN di Desa Penari sebenarnya pula kurang pas untuk dijadikan
sebagai bagian dari perayaan dari Covid-19 yang melandai. Ketika itu padahal
ada beberapa film lain yang tak kalah bagus ketimbang film KKN di Desa Penari.
Sangking muaknya, di mesin pencari google bahkan terdapat
penelusuran (anchor text) soal ‘kapan KKN di Desa Penari akan berakhir di
bioskop’. Dan beruntungnya, mereka yang ‘paham’ soal kualitas tak ikut-ikutan
euforia antri berdesak-desakan cuma sekedar untuk melihat setan bisa menari dan
rombongan jump scare-nya yang berderet seperti kereta batu bara.
Baca Juga: Pengabdi Setan 2: Communion, Rumah Susun dan Hilangnya Semua yang Ikonik
Kualitas Film Indonesia tak Berjodoh dengan Kualitas Penonton
Sayangnya memang, film-film yang masuk dalam kategori
berkualitas kerap tak berjodoh dengan kuantitas penontonnya, hanya sebagian
kecil. Angkanya tak signifikan sehingga amat susah untuk bersaing dengan sebuah
industri yang amat masif membangun teror-teror promosi hingga menyasar ke media
sosial demi sebuah untung besar.
Karenanya, film-film yang berkualitas kerap identik dengan
segmentasi penonton (baca: penonton yang berkualitas). Mereka seperti komunitas
kecil yang menikmati alur, konsep, jalan cerita, siapa sutradaranya hingga
watak tiap tokoh dengan amat detail bahkan kemudian meng-kritik mana kala ada ‘keanehan’
yang dipertimbangkan melalui nalar yang amat matang. Sehingga, orang-orang
seperti Riri Riza, Mira Lesmana maupun Joko Anwar kerap berhati-hati, karena
garis api antara kualitas dan komersialitas amat tipis.
Berbeda dengan penonton yang cuma berhasil membangun
kesimpulan yang sama ketika usai menonton, mereka tak punya target apalagi
ekspektasi kecuali larut bersama jutaan penonton lainnya agar tidak sekedar
dibilang ‘ketinggalan’,
Ironisnya ketika itu minyak goreng sedang benar-benar
langka, kalaupun ada, harganya senilai selembar tiket bioskop yang pada
akhirnya disubstitusi dengan ketakutan yang umum.
![]() |
Salah satu adegan film Daun di Atas Bantal |
Kualitas Film Indonesia itu Levelnya Dunia
Secara sadar atau tidak, film-film berkualitas Indonesia yang
seperti tamu di negeri sendiri itu justru menjadi tuan di negeri lain.
Mirisnya, keadaanya ini justru menjadi penanda bahwa penikmat film di Indonesia
masih belum bisa membedakan mana film yang berkualitas dan mana film yang
sekedar euforia dan tenar lewat ghibah.
Film-film sekelas Sekala Niskala karya Kamila Andini, Daun
Di Atas Bantal, Pengabdi Setan, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak adalah
film-film tanah air yang begitu disanjung di level internasional.
Kritikus disana adalah tentang banyak pertimbangan yang
matang tentang standar sebuah film yang dianggap layak dan pantas untuk disebut
berkualitas diukur dari berbagai hal yang amat detail. Film bukan cuma dianggap
sebagai sebuah tontonan tapi juga sebuah prestise.
Sementara disini, Ku Cumbu Tubuh Indah Ku justru menimbulkan
polemik. Agak bias memang, tapi lagi-lagi ini pembeda antara film yang dibangun
sebagai sebuah karya melalui idealisme-idealisme yang total dengan film yang
cenderung komersil yang menjadikannya semata industri, cepat datang, cepat
hilang. Yang kalau tak kuat modal, jatah posternya cuma satu hari di bioskop.
Maka, tak aneh jika film berkualitas Indonesia itu
penikmatnya adalah ‘orang lain’ diluar sana.
![]() |
Salah satu adegan film Sekala Niskala |
Kualitas Film Indonesia Kritiknya hanya dalam Batas Koreksi pada Sebuah
Industri
Pada masa-masa kini, kehadiran sebuah film dikritik hanya
dengan menempatkannya pada sebuah industri, bandingkan dengan film-film India
yang mungkin diproduksi hampir setiap hari tapi genre film Bollywood memang
terbatas, temanya juga monoton karena mereka yang mendayu-dayu ini memang punya
penikmat sendiri.
Yang pada akhirnya, kritik tersebut bukan menjadi sebuah
koreksi, dan keadaannya cuma sepintas lalu tanpa ada pembaruan di film
berikutnya yang hanya tentang itu-itu saja, dikritik lagi, dibuat lagi,
dikritik lagi, begitu saja sebagai sebuah siklus.
Sukses itu: Sekuel, Trilogi dan seterusnya
Lucunya lagi, film Indonesia itu punya kecenderungan untuk
membaca pasar. Sukses film pertama (jumlah penonton), maka yakinlah akan ada
sekuel, trilogi dan sambungan-sambungannya yang tiap lanjutannya dipaksakan
agar menyatu dengan film sebelumnya.
Lagi-lagi ini hanya perkara industri, jika pasar sukses,
maka yang akan datang kemudian adalah produk lanjutannya sambil harap-harap
cemas bakal sukses untuk kemudian dibuat kembali lanjutannya, modusnya; cerita
dibuat menggantung.
Pada Akhirnya ini cuma Tentang Apresiasi
Orang-orang terlanjur menganggap film itu sebagai sebuah
industri, tak salah sebenarnya. Tapi, film
(berkualitas) itu sebenarnya butuh apresiasi (juga) yang bukan hanya sekedar
dinikmati atau malah tidak mengerti jalan ceritanya, tapi membangun persepsi
tentang film itu sendiri.
Ada pesan, ada makna yang coba dibangun, dan jika persepsi itu
berbeda maka sejatinya karya hadir adalah untuk itu.
Ini bukan perkara memanjangkan napas mereka yang hidup di
dunia film tapi membangun karakter film dan penonton agar sama-sama berjodoh
dengan kualitas yang saling menuntut para pihak ini untuk benar-benar layak
memperoleh apresiasi itu sendiri.
Semakin tak sabar menunggu sekuel ini; Bimbingan Skripsi di Desa Penari atau Wisuda di Desa Penari, entahlah, yang jelas sekuel-sekuel itu
(kalaupun ada) tak akan pernah bisa menyamai dialog Christine Hakim yang amat
ikonik ini, ‘orang mati kok ndak bisa dikubur’.