Dilema PPPK hari ini adalah soal ketidakpastian...
Sistem rekrutmen aparatur negara melalui mekanisme pengangkatan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) ternyata justru menimbulkan masalah
baru. Padahal, awalnya rekrutmen PPPK ini dianggap sebagai solusi mengatasi
beban anggaran yang besar untuk menggaji para pegawai negeri.
Rekrutmen PPPK yang sudah dilakukan sejak beberapa tahun
terakhir ini awalnya masih berjalan lancar, program terobosan dibidang
reformasi birokrasi sekaligus efisiensi anggaran di era Presiden Jokowi ini
juga mendapat respon positif tak hanya dari pemerintah tapi juga angkatan
kerja.
Namun masalah mulai muncul mana kala pemerintah pusat justru
membebankan gaji pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja ini kepada daerah.
Masalah kian kompleks mana kala, beban gaji PPPK itu tak
diiringi dengan penambahan Dana Alokasi Umum (DAU) yang khusus untuk menggaji
PPPK.
Di sisi lain, pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota
sudah terlanjur kadung mengajukan
formasi PPPK dalam jumlah yang amat besar.
Program 1 Juta PPPK
Keberadaan PPPK sendiri awalnya diinisiasi oleh pemerintah
pusat melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(MenPAN-RB) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Bahkan ketika itu, dua kementerian ini menargetkan rekrutmen
PPPK hingga 1 juta orang dengan prioritas utama adalah tenaga pendidik maupun
tenaga honorer.
Belakangan wacana rekrutmen 1 juta PPPK itu menjadi tantangan
tersendiri bagi pemerintah daerah karena beban gaji PPPK di daerah menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah masing-masing.
Baca Juga: IndiHome Pengiring Kebangkitan Teacherpreneur di Era Pendidikan 4.0
Sengkarut Dilema PPPK
Sengkarut keberadaan PPPK bermula ketika pemerintah pusat
yang semula mengalokasikan gaji PPPK melalui penambahan dana alokasi umum tiap
daerah, dan kemudian menghilangkan porsi anggaran gaji PPPK tersebut di dalam
DAU.
Sehingga secara otomatis, anggaran DAU tiap daerah yang
sudah memiliki alokasi kebutuhan masing-masing jadi terganggu karena tak ada
tambahan dana dari pusat lagi untuk menggaji PPPK dan bahkan membebankannya ke
anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Di sisi lain, pemerintah daerah juga masih harus dihadapi
dengan masalah status tenaga honorer yang bakal dihapus tahun depan sehingga
secara otomatis tenaga honorer yang sudah ada itu harus diangkat sebagai PPPK.
Sementara sebelumnya, pemerintah daerah juga sudah terlanjur
merekrut PPPK dengan jumlah yang besar untuk tiap daerah karena berpikir beban
gajinya bakal dialokasikan melalui DAU. Masalah kian bertambah runyam ketika
pemerintah pusat juga akan menghapus DAU mulai tahun depan.
Jadi Beban Luar Biasa bagi Pemerintah Daerah
Keadaan ini, bakal jadi beban luar biasa khususnya dalam
pembiayaan pembangunan bagi pemerintah daerah. Karena secara tidak langsung
biaya pembangunan dalam APBD bakal tergerus oleh beban gaji PPPK.
Perlu diketahui, beban gaji PPPK di tiap daerah bukanlah
angka yang kecil, nilainya bahkan mencapai ratusan milyar, sehingga efek domino
dari permasalahan gaji PPPK ini akan menjadi bom waktu jika tidak segera
dicarikan solusinya.
Bahkan, jangankan untuk menggaji PPPK, dana alokasi umum
yang didistribusikan oleh pemerintah pusat saat ini pun diakui oleh daerah
masih amat kurang untuk membiayai kebutuhan pembangunan. Di sisi lain,
pemerintah masih harus menanggung beban gaji pegawai yang terikat perjanjian
kerja ini sehingga membuat dilema PPPK jadi kian rumit.
Mulai Berdampak di Daerah
Banyak daerah yang mulai merasakan dampak dari kebijakan
pemerintah terkait mekanisme penggajian PPPK yang dibebankan kepada APBD daerah
masing-masing.
Pemerintah Kota Bandar Lampung misalnya, merasa amat
terbebani dan harus ekstra mencari peluang tambahan anggaran untuk mengatasi
ketiadaan anggaran untuk menggaji ratusan guru yang berstatus sebagai PPPK ini.
Pemerintah Kota Bandar Lampung bahkan berencana untuk
melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat khususnya mengajukan tambahan dana
alokasi umum untuk menggaji PPPK melalui pos anggaran rutin. Di Kota Bandar
Lampung sendiri, terdapat sebanyak 1.166 guru berstatus PPPK yang gajinya
menjadi tanggung jawab Pemkot Bandar Lampung.
Walikota Bandar Lampung, Eva Dwiana juga berencana untuk
menggenjot pendapatan asli daerah untuk mensiasati beban gaji PPPK ini.
Baca Juga: MyPertamina Diunduh untuk Bintang Satu
Inkonsistensi Pemerintah Pusat picu Dilema PPPK
Permasalahan gaji PPPK di seluruh daerah di Indonesia
sebenarnya tak perlu terjadi jika pemerintah pusat menjelaskan secara rinci
tentang mekanisme penggajian aparatur PPPK tersebut, meskipun pada awalnya
pemerintah pusat masih mengalokasikan anggaran gaji PPPK melalui DAU namun setahun
terakhir alokasi gaji PPPK dalam DAU justru dihilangkan.
Bentuk inkonsistensi pemerintah ini terlihat dari paparan
mekanisme penggajian pegawai PPPK yang disebutkan bakal menganut mekanisme yang
sama seperti pegawai negeri sipil (PNS).
Namun dalam perjalanannya, DAU yang telah ditransfer oleh
pemerintah pusat juga sudah meliputi pembayaran gaji pegawai PPPK, kondisi
inilah yang membuat pemerintah daerah kelimpungan karena DAU yang ada saja
masih jauh dari kata cukup.
Pegawai PPPK pun Ikut Terkena Imbasnya
Permasalahan penggajian PPPK ini pun juga berimbas kepada
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang sudah mulai bekerja,
pasalnya sampai dengan hari ini surat keputusan pengangkatan mereka sebagai
PPPK juga tak kunjung turun.
Padahal, SK tersebut menjadi legalitas utama bagi seorang
pegawai PPPK untuk memperoleh haknya berupa gaji. Namun sampai saat ini,
jangankan memperoleh gaji, kejelasan status pun tak ada sehingga kian menambah dilema
PPPK.
Berkembangnya dilema PPPK di tingkat daerah ini amat mungkin
menutup peluang dibukanya kembali formasi pegawai pemerintah dengan perjanjian
kerja sebelum adanya kepastian tentang mekanisme penggajian yang disepakati
oleh pemerintah pusat dan daerah.